Wednesday, May 29, 2019

Ada fenomena yang membuat saya dan dua orang sahabat perempuan tergelitik saat sedang memindahkan instalasi pembatas dari sebuah universitas ke sekolah yang sedang gotong royong dibangun. Instalasi pagar yang ingin dipindahkan ini merupakan instalasi yang terbuat dari bambu dan memiliki tinggi sekitar satu hingga dua setengah meter dengan panjang dua hingga lima meter dan terdiri dari enam modul. Kebayang dong panjang banget dan untuk memindahkannya kami perlu mengakali dengan membagi instalasi pagar menjadi beberapa potongan di tiap modulnya. Pada saat itu kami hanya memiliki satu orang tukang yang bertugas memotong beberapa bagian modul serta dua orang petugas yang memindahkan potongan-potongan tersebut ke dalam mobil bak terbuka. Lalu siapa yang membantu tukang tersebut? Ya kami bertiga!!

Saat itu kondisi kampus sedang ramai dan bahkan di area kami memotong dan membagi instalasi pagar pun terdapat beberapa mahasiswa dengan peer groupnya sedang berdiskusi. Anehnya tidak ada seorang pun yang kepo dengan apa yang sedang kami lakukan. Tidak ada yang bertanya ataupun turun membantu melihat kami sedang riweuh mendorong, mengangkat, ataupun menidurkan bagian pagar bambu yang sudah dipotong. Kalaupun ada yang menyapa dan berkomentar adalah seorang dosen yang bersedih karena instalasi pagar bambu yang cantik itu harus dipindahkan. Sampai seorang teman akhirnya bertanya dan meminta tolong kepada beberapa mahasiswa yang sedang berjalan untuk membantu, tapi nihil. Mahasiswa tersebut hanya mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkannya dan saya yang kelelahan mengangkat instalasi pagar bambu tersebut. 

Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia ini?
Tidak adakah keinginan untuk mengetahui lebih apa yang terjadi dengan sekitarnya?
Sudah begitu antipatikah orang-orang disekitar hingga tidak ada sapa ataupun keinginan untuk membantu saat melihat orang lain kesusahan?

Hingga akhirnya pertayaan-pertanyaan ini pecah di mobil saat perjalanan pulang dari sekolah. Kami bertiga merasakan sebegitu individualnya kah dunia ini sekarang? Hingga yang tertinggal hanya pemikiran kritis serta antipati terhadap sekitar? Tapi tidak terlihat ada yang berusaha untuk terjun langsung membuat apa yang ada dipikirannya menjadi kenyataan, tidak ada simpati, ataupun keinginan untuk menolong sesama. Padahal melalui kolaborasi dan berkontribusi justru kita akan semakin kaya secara pemikiran, perasaan, maupun keahlian untuk mewujudkan sesuatu. 

Saya berdoa kencang dalam hati supaya ini hanya saya yang salah paham, bahwa kami hanya sedang sial. Tapi kemudian saya mengingat apa yang terjadi dengan mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus saya sekarang dan persamaan perilakunya. Begitupun dengan beberapa teman yang memiliki rentang umur dewasa muda yang perlu diajarkan dan diingatkan untuk bersikap maupun menolong pihak lain. Sebegininya banget nih?!

Melihat fenomena di atas, saya kembali teringat bahwa semuanya berasal dari pendidikan, dari sekolah. Apalagi saat ini dengan semakin tingginya keinginan orang tua dan sekolah untuk mencetak murid yang cerdas secara kognisi dan berlomba-lomba memiliki prestasi terbaik. Hanya saja ada yang terlupakan ketika hanya bagian kognisi dan motivasi berprestasi yang diasah. Bahwa hidup tidak melulu mengenai nilai-nilai yang ada dirapot maupun ditranskrip. 

Mendidik anak untuk dapat bertahan diberbagai zaman dan tantangan ke depan adalah sesuatu yang tak kalah pentingnya. Hal ini tentu tidak hanya memerlukan kognisi, namun juga mengasah perasaan untuk dapat bersimpati dan berempati terhadap lingkungan sekitarnya serta memiliki dorongan dan motivasi internal untuk dapat berkontribusi terhadap dunia. Tidak hanya saling menyikut untuk dapat menjadi yang terbaik.

Educating the mind without educating the heart is no education at all.
- Aristotle -

Rasanya keinginan saya untuk makin berkontribusi di sekolah Arunika Waldorf menjadi semakin kencang. Saya menjadi semakin menyadari pentingnya ada sekolah ini agar ke depannya setidaknya ada beberapa orang yang dapat dengan bebas mengetahui tujuan dan arahannya. Seorang manusia yang memiliki dorongan yang kuat untuk dapat berkontribusi terhadap dunia, menjadi orang yang bermanfaat untuk lingkungannya, dan dapat memberikan dunia yang tidak hanya indah, tapi juga aman dan menginspirasi berbagai pihak. 

Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education
- Rudolf Steiner -




Saturday, May 25, 2019

Mengapa Pendidikan Waldorf?


Banyak kolega, teman, maupun kawan yang sering bertanya mengapa saya memilih untuk mendalami sebuah pendidikan yang masih baru di Indonesia ini. Bahkan saya mau mengikuti pelatihan untuk menjadi guru di Bangkok untuk mengetahui lebih jauh mengenai pendidikan Waldorf! Jawaban saya ada di video Waldorf 100 baik part 1, part 2, maupun part 3-nya. 


Pendidikan Waldorf menjadi pendidikan alternatif di zaman yang serba cepat dan instan. Menurut saya pribadi mereka mengajarkan anak-anak untuk bisa bertahan di setiap situasi yang akan mereka hadapi nantinya. Hal ini karena Pendidikan Waldorf membantu anak-anak tidak hanya membangun keterampilannya tapi juga mengetahui kapasitas yang mereka bisa lakukan untuk menyelesaikan tantangan-tantangan hidupnya. 

Selain itu Pendidikan Waldorf sejalan dengan berbagai teori perkembangan anak yang saya lahap saat berada di bangku kuliah. Pendidikan usia dini menjadi sangat krusial karena merupakan pondasi dari jenjang-jenjang pendidikan ke depannya. Oleh karenanya banyak yang mengatakan masa-masa lima tahun pertama anak adalah masa-masa golden age. Seringnya kita saya lupa bahwa walaupun disebut masa keemasan, tapi tetap pondasi awal yang terbangun adalah berasal dari gerak, melihat alam sekitar, belajar berempati, serta memberikan contoh-contoh perilaku yang baik kepada anak sebagai bekal untuk menjadi manusia yang utuh dan memanusiakan manusia. 



Selama tujuh tahun pertama, anak-anak mengembangkan pondasi tubuh mereka untuk kehidupan. Mereka menjelajahi dan mengalami dunia dengan indera mereka dan melalui pertemuan-pertemuan dengan banyak hal. Pertemuan-pertemuan awal dalam kehidupan ini memiliki pengaruh yang dalam dan efek jangka panjang pada pembentukan diri mereka sendiri. 

Ketika saya menemukan pendidikan yang sangat manusiawi ini, bagaimana saya tidak jatuh cinta? Apalagi di tengah kehidupan yang ga santai ini, terlalu serius, dan terlalu banyak jurang pemisah hingga melupakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Bagaimana caranya? Untuk dapat bermanfaat bagi manusia lainnya, ia perlu mengenal dirinya dan memberi makna bagi kehidupannya. Ini sesuai sekali dengan tujuan Pendidikan Waldorf untuk menghasilkan individu yang mampu dalam diri dan diri mereka sendiri untuk memberikan makna bagi kehidupan mereka melalui pendidikan yang menyeluruh melalui tangan, hari dan kepala.

Friday, May 17, 2019

Perubahan

Are you willing to lose everything?
Are you willing to have nothing and lose everything?
Because if the answer is "no",
you will never change.


Di tengah-tengah percakapan soal apa yang didapat salah seorang sahabat saat menghadiri konferensi guru-guru Waldorf di Bangkok, ia menceritakan mengenai sebuah puisi dari satu orang yang menampar keras dirinya. Ketika puisi yang menjadi pembuka tulisan ini dibacakan kepada saya dan sahabat yang lain, rasanya jleb!!!

Perlu jeda beberapa saat untuk kami semua menyerap puisi singkat yang disampaikan olehnya. Sudah sejauh mana kami melangkah? Apakah benar-benar sudah sesuai dengan niatan awal? Apakah kita sudah memiliki kesediaan itu?

Percakapan pun berlanjut sambil saya merasakan kembali apa-apa yang sudah dan sedang terjadi. Untuk membuat sebuah perubahan, memang ada seseuatu yang harus diubah, entah ritme yang sudah dibangun perlu dihancurkan, atau menurunkan ego yang sudah tinggi untuk bisa kembali berubah menjadi lebih baik lagi. Rasa-rasanya pertanyaan yang saya ajukan beberapa minggu lalu langung terjawab.

Perubahan memang selalu datang. Tapi apakah kita semua sudah siap dengan hal tersebut? Seperti puisi di awal paragraf, apakah kita sudah siap untuk kembali ke titik nol untuk sebuah perubahan? Kembali menjadi bukan siapa-siapa atau tidak memiliki apapun.

Saya pun teringat mengenai pentingnya cerita-cerita Grimms bersaudara didongengkan untuk anak-anak walaupun ada beberapa adegan yang terlalu sadis bila dibandingkan dengan versi disneynya. Cerita ini menjadi bagus untuk anak-anak dikarenakan secara tidak sadar anak-anak belajar bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan akan selalu ada pengorbanan, entah dalam bentuk apapun. Hingga harapannya saat mereka dewasa kelak, meraka paham bahwa untuk mencapai suatu tahap kedewasaan ataupun sisi spiritualitas akan ada bagian manusiawi dan ego yang perlu dilepaskan.

Bukankah begitu dengan hidup, untuk menjadi lebih dewasa, kita perlu melepas sesuatu untuk mencapai sisi yang lebih baik lagi. Begitupun sebagai makhluk yang datang ke bumi dengan membawa kebijaksanaan dari dunia spiritual dan sebagai manusia terkadang kita terlalu tenggelam dalam keduniawian sehingga lupa bahwa kita pun sedang dalam perjalanan untuk kembali ke dunia spiritual dan untuk mencapai hal itu, ada suatu bagian dari keduniawian kita yang perlu dilepaskan.

Are you ready to change?

Saturday, May 11, 2019

Don't grieve.
Anything you lose comes round in another form.
-Jalaluddin Rumi

Beberapa minggu ini saya sedang masygul dan pada akhirnya kembali melakukan latihan-latihan yang dapat membantu untuk kembali menjejakkan diri di tanah. Saya mulai melakukan meditasi pernafasan, membereskan dua buah nakas di kamar, serta melakukan beberapa gerakan untuk membantu saya kembali mindful

Selain latihan-latihan di atas, saya juga melakukan perawatan diri secara ke dalam. Saya kembali mengingat sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang guru saat teacher training di Bangkok kemarin. Beliau mengingatkan bahwa saat kita sedang sangat senang maupun sedih, sebetulnya bagian dari diri yang manakah yang sedang terbangun? Karena terkadang rasa bahagia dan sakit adalah sebuah peluang dalam kehidupan untuk kita mencari tahu apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui kebahagiaan maupun tragedi yang terjadi, sehingga kita tidak terlena di dalam sana. 

Bentuk perawatan diri yang lain adalah saya menulis jurnal mengenai kejadian serta perasaan saya pada hari itu. Ini merupakan salah satu cara untuk menyalurkan apa yang ada dipikiran supaya tidak menjadi penyakit. Selain itu saya pun membaca kembali catatan-catatan teacher training yang berhubungan dengan biographical works

Tentu melakukan semua hal ini bukan hal yang mudah. Pada saat sedang bersedih, saya pun memberikan ruang dan waktu untuk membiarkan perasaan ini timbul. Karena perasaan sedih ini merupakan perasaan yang wajar dirasakan. Toh kita tidak harus selalu terlihat bahagia. Namun, setelah beberapa saat sudah saatnya kembali ke dunia nyata. Kembali tertuju pada apa yang menjadi tujuan besar di dalam hidup: menjadi manusia yang berguna untuk sekitarnya. 

Setelah itu tak lama, Tuhan pun menjawab doa saya. Perlahan satu demi satu saya dipertemukan kembali dengan sahabat, kawan, dan teman yang membantu saya mengingat apa yang perlu saya lakukan. Serasa kembali ke jalannya. 

Saya pun yakin, bahwa niatan baik tidak pernah salah. Kalaupun ada yang hilang dari permasalahan yang kemarin saya  hadapi, seakan-akan Tuhan tidak ingin saya bersedih lama-lama. Lewat instagram, twitter, pesan singkat, dan pertemuan dengan banyak orang yang dekat dengan saya ada saja pesan-pesan yang mengingatkan untuk terus berjalan dan seperti kata-kata di paragraf paling atas, bahwa yang pergi akan kembali dengan bentuk yang berbeda, sesuatu yang lebih baik. 
© WANDERER 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis