Monday, April 16, 2018

Bukan Hanya Sekadar Menjadi Guru

salah satu hasil karya dari early childhood Waldorf teacher training

Sudah beberapa kali saya mengikuti pelatihan untuk menjadi guru Waldorf dan sebanyak itulah saya kembali disadarkan bahwa menjadi guru tidaklah hanya menjadi guru yang ada dibayangan saya selama ini. Menjadi guru di sebuah sekolah Waldorf, berarti saya belajar menjadi pengamat yang handal.  Saya belajar mengamati anak-anak sebagaimana latar belakang profesi sebagai psikolog pendidikan. Bahkan mungkin lebih dalam. Sebegitu tingginya kompetensi yang diminta agar saya dapat memahami anak secara utuh dan dari berbagai sisi serta bagaimana cara terbaik untuk membantu anak bertumbuh dan berkembang agar maksud dan tujuannya datang ke dunia ini tercapai. 

Saya pun belajar bahwa ketika ingin memberikan yang terbaik untuk anak, saya tidak boleh setengah-setengah. Begitu pun ketika membuat mainan untuk anak, dibuat sesempurna mungkin. Awalnya saya suka sebel dan bete karena membuat boneka itu berarti mengerahkan semua daya dan upaya untuk menyelesaikannya alias bikin capek. Tapi saya diingatkan oleh guru saya, bahwa kita ingin memberikan yang terbaik untuk anak, begitu pun dengan mainan yang dimainkannya. Jleb!! Ya udah deh ga jadi kesel, diselesaikan saja bonekanya.

Sebagai guru, berarti saya perlu belajar lebih jauh untuk memahami tumbuh kembang manusia selama hidupnya. Berarti saya pun belajar untuk mengenal kembali siapa saya dan apa saja yang sudah saya perbuat untuk diri sendiri, keluarga, serta lingkungan sekitar serta ke mana saya akan melangkah. Saya belajar untuk memaafkan diri sendiri, melepaskan beban yang ada, serta berpindah alias move on

Saya pun belajar untuk memandang dunia tempat saya selama ini tinggal dari kacamata yang berbeda. Mengapa tumbuhan ada banyak jenisnya, mengapa kuda memiliki kelebihan di kaki, sedangkan orang utan ada di tangannya. Saya diajak kembali melihat hal-hal disekitar secara lebih luas, detail dan mendalam, hingga saya rasanya menjadi sangat bersyukur atas semua pegorbanan yang telah mereka lakukan untuk kita, manusia. 

Saya pun diajarkan untuk melatih tidak hanya kecerdasan yang berada di kepala alias kognisi, tapi juga rasa atau afeksi melalui banyak gerakan indah, melukis, menggambar, maupun bermain tanah liat. Mengasah kembali perasaan-perasaan yang selama ini terlupakan karena terlalu auto pilot-nya kehidupan yang kita jalani. Saya juga dipaksa kembali menggunakan konasi alias motorik yang selama ini terlalu kaku karena sudah jarangnya dipakai untuk menulis. Kemampuan mengerakkan kembali jari-jemari terlihat melalui merajut, menjahit, serta membuat sebuah prakarya menggunakan jarum dan benang. Rasanya seumur hidup saya tidak pernah bermimpi akan melakukan hal-hal ini.

Melalui sebuah proses yang cukup panjang ini, saya tidak lagi bisa mengatakan bahwa guru hanyalah sekadar guru. Mereka membutuhkan persiapan yang luar biasa untuk mengajar anak-anak yang kelak akan bertumbuh dan menjalani perannya di muka bumi ini. Agar anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia yang manusiawi serta mampu menyelesaikan tantangan di jamannya nanti. 
© WANDERER 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis